Pemikiran Syekh Nawawi al-Bantani
Senin, 20 Maret 2017
Tulis Komentar
Jejak Pendidikan- Pemikiran Syekh Nawawi al-Bantani Syekh Nawawi dikenal sebagai ulama dan pemikir yang memiliki pandangan dan pendidiran yang khas, beliau konsisten dan berkomitmen kuat bagi perjuangan umat Islam. Namun demikian, dalam menghadapi pemerintahan kolonial Hindia Belanda, beliau memiliki caranya sendiri. Syekh Nawawi agresif dan reaksioner dalam menghadapi kaum penjajah. Tapi, itu tidak berarti beliau kooperatif dengan mereka. Syekh Nawawi tetap menentang keras kerjasama dengan kolonial dalam bentuk apapun. Syekh Nawawi lebih suka memberikan perhatian kepada dunia ilmu dan para anak didiknya serta aktivitas dalam rangka menegakkan kebenaran dan agama Allah SWT.
a. Bidang Syariah
Dalam bidang Syariah Islamiyah, Syekh Nawawi mandasarkan pandangannya pada dua sumber inti Islam, yaitu al-Quran dan al-Hadits, selain juga ijma dan qiyas. Empat pijakan ini seperti yang digunakan oleh pendiri Madzhab Syafiiyyah, yakni Imam Syafii. Mengenai ijtihad dan taklid. Syekh Nawawi Ijma berarti kesepakatan terhadap hukum suatu peristiwa, bahwa hukum tersebut merupakan hukum syara.
Qiyas berarti menyamakan hukum syara dalam satu kasus dengan kasus lain, karena keduanya mempunyai persamaan illat (cacat) atau keduanya mempunyai persamaan penyebab adanya hukum syara bagi masing-masing. Ijtihad berarti mengerahkan seluruh kemampuan dalam mencari asumsi (dzann) atas salah satu hukum syara dalam bentuk, dimana dari (pencariannya) merasa tidak mampu lagi melakukan lebih dari itu.
berpendapat bahwa yang termasuk mujtahid (ahli ijtihad) mutlak adalah Imam Syafii, Imam Hanafi, Imam Hambali, dan Imam Maliki. Bagi keempat ulama‟ tersebut, menurut Syekh Nawawi haram bertaklid, sementara selain mereka wajib bertaklid kepada salah satu keempat Imam madzhab tersebut. Pandangan beliau ini mungkin dirasa agak berbeda degnan kebanyakan ulama yang menilai pintu ijtihad tetaplah terbuka lebar sepanjang masa. Mengungkap jaringan intelektual para ulama‟ Indonesia sebelum organisasi Nahdlatul Ulama‟ berdiri, merupakan kajian yang terlupakan dari perhatian para pemerhati NU.
Terlebih lagi bila ditarik sampai keterkaitannya dengan keberhasilan ulama‟-ulama‟ tradisional dalam karir keilmuannya di Mekkah dan Madinah. Salah satu faktor minimnya kajian adalah diakibatkan dari persepsi pemahaman sebagian masyarakat yang sederhana hanya bergerak dalam sosial politik dengan sejumlah langkah-langkah perjalanan politik praktisnya, dan bukan sebagai organisasi intelektual keagamaan yang bergerak dalam keilmuan dan mencetak para ulama‟. Sehingga orang merasa heran dan terkagum-kagum ketika menyaksikan yang dilakukan kebanyakan anak muda belakangan ini mengusung gerakan pemikiran yang sangat maju, berani dan progressif. Mereka tidak menyadari kalau di tubuh NU juga memiliki akar tradisi intelektual keilmuan yang mapan dan tipikal. Dengan begitu NU berdiri untuk Taqlid berarti melaksanakan pandangan orang lain tanpa hujjah (argumentasi) yang mengikat.
menyelamatkan tradisi keilmuan keilmuan Islam yang hampir tercerabut dari akar keilmuan ulama‟ salaf. Figur ulama‟ seperti Syekh Nawawi al-Bantani merupakan sosok ulama‟ berpengaruh yang tipikal dari model pemikiran tersebut. Beliau memegang teguh mempertahankan tradisi keilmuan klasik, suatu tradisi keilmuan yang tidak bisa dilepaskan dari kesinambungan secara evolutif dalam pembentukan keilmuan agama Islam. Besarnya pengaruh pola pemahaman dan pemikiran Syekh Nawawi al-Bantani terhadap para tokoh ulama‟ Indonesia, Syekh Nawawi dapat dikatakan sebagai poros dari akar tradisi keilmuan Pesantren dan Nahdlatul Ulama. Oleh sebab itu, di kalangan komunitas Pesantren Syekh Nawawi tidak hanya dikenal sebagai ulama‟ penulis kitab, tapi beliau juga dikenal sebagai mahaguru sejati karena telah berjasa meletakkan landasan teologis dan batasan-batasan etis tradisi keilmuan di lembaga pendidikan Pesantren. Beliau turut banyak membentuk keintelektualan tokoh-tokoh para pendiri organisasi NU.
Apabila KH. Hasyim Asyari sering disebut sebagai tokoh yang tidak bisa dilepaskan dari sejarah berdirinya NU, maka Syekh Nawawi adalah guru utama Hasyim Asyari. Di sela-sela pengajian kitab-kitab karya gurunya tersebut, seringkali KH. Hasyim Asyari bernostalgia bercerita tentang kehidupan Syekh Nawawi, kadang mengenangnya sampai meneteskan air mata karena besarnya kecintaan beliau terhadap Syekh Nawawi.
b. Bidang Tasawuf
Menurut Syekh Nawawi tasawuf berarti pembinaan etika (adab). Penguasaan ilmu lahiriah semata tanpa penguasaan ilmu batin akan berakibat terjerumus dalam kefasikan, sebaliknya seseorang berusaha menguasai ilmu bathin semata tanpa dibarengi ilmu lahir akan terjerumus ke dalam zindiq (kafir zindiq). Jadi keduanya tidak dapat dipisahkan dalam upaya pembinaan etika atau moral (adab).
Syekh Nawawi tidak hanya dikenal sebagai seorang tokoh ulama‟ terbesar, tapi beliau juga dikenal sebagai seorang sufi yang berlian karena kemahiran dan kepintaran beliau dalam bidang agama. Sejauh itu, dalam bidang tasawuf, Syekh Nawawi dengan aktivitas intelektualnya mencerminkan ia bersemangat menghidupkan disiplin ilmu-ilmu agama. Dari karya-karya yang dituliskannya Syekh Nawawi menunjukkan seorang sufi brilian, beliau banya memiliki tulisan di bidang tasawuf yang dapat dijadikan sebagai rujukan stradar bagi seorang sufi. Pandangan tasawufnya meski tidak tergantung pada guru beliau yaitu Syekh Khatib Sambas, seorang Ulama‟ tasawuf asal Jawa yang memimpin sebuah organisasi tarekat, bahkan tidak ikut menjadi anggota tarekat, namun beliau memiliki pandangan bahwa keterkaitan antara praktek tarekat, syariat dan hakikat sangat erat. Untuk memahami lebih mudah dari keterkaitan itu, Syekh Nawawi mengibaratkan syariat dengan sebuah kapal, tarekat dengan lautnya dan hakekat merupakan intan dalam lautan yang dapat diperoleh dengan kapal berlayar di laut.
Dalam proses pengamalannya Syariat (hukum) dan tarekat merupakan awal dari perjalanan (ibtida‟i) seorang sufi, sementara hakikat adalah hasil dari syariat dan tarekat. Pandangan ini mengidentifikasikan bahwa Syekh Nawawi tidak menolak praktek-praktek tarekat selama tarekat tersebut tidak mengajarkan hal-hal yang bertentangan dengan ajaran Islam, syariat. Paparan konsep tasawuf Syekh Nawawi tampak pada konsistensi dengan pijakannya terhadap pengalaman spiritualitas ulama‟ salaf. Tema-tema yang digunakan tidak jauh dari rumusan ulama tasawuf klasik. Model paparan tasawuf inilah yang membuat Syekh Nawawi harus dibedakan dengan tokoh sufi Indonesia lainnya. Berbeda dengan sufi Indonesia lainnya yang lebih banyak porsinya dalam menyadur teori-teori genostik Ibnu Arabi, Syekh Nawawi justru menampilkan tasawuf yang moderat antara hakikat dan syariat. Dalam formulasi pandangan tasawufnya tampak terlihat upaya perpaduan antara fiqih dan tasawuf. Beliau lebih mengikuti al-Ghazali dan dalam kitab tasawufnya “Salalim al-Fudlala” terlihat Syekh Nawawi bagai sosok seorang al-Ghazali di era modern. Beliau lihai dalam mengurai
kebekuan dikotomi fiqh dan tasawuf.
Dilihat dari pandangan beliau tentang ilmu alam lahir dan ilmu alam bathin. Ilmu lahiriyah dapat diperoleh dengan proses ta‟allum (berguru) dan tadarrus (belajar) sehingga mencapai derajad „alim sedangkan ilmu bathin dapat diperoleh melalui proses dzikir, muraqqabah, dan musyahadah sehingga mencapai derajad „Arif.50 Seorang hamba diharapkan tidak hanya menjadi „alim yang banyak mengetahui ilmu-ilmu lahir saja tetapi juga harus arif, memahami rahasia spiritual ilmu bathin.
4. Karomah dan Karya-karya Syekh Nawawi al-Bantani
Ulama–ulama terdahulu pasti memiliki berbagai karomah yang tidak akan terjadi jika Allah tidak menghendaki. Begitu pula dengan Syekh Nawawi al-Bantani yang memiliki beberapa karomah, diantaranya adalah ketika beliau menulis syarah (ringkasan) kitab Bidayatul Hidayah (karya Imam Ghozali), lampu minyak beliau padam, padahal saat itu sedang dalam perjalanan, kemudian beliau berdo‟a kepada Allah SWT. apabila kitab yang ditulisnya bermanfaat buat kaum muslimin, maka mohon Allah memberikan sinar agar bisa melanjutkan menulis. Tiba-tiba jempol kaki beliau mengeluarkan api, bersinar terang, dan beliau meneruskan untuk menulis syarah hingga selesai.
Diantara karomah yang lain, yaitu nampak saat beberapa tahun setelah beliau wafat, makamnya akan dibongkar oleh pemerintah untuk dipindahkan tulang belulangnya dan liang lahadnya akan ditumpuki jenazah lain, tetapi petugas mengurungkan niatnya karena jenazah Syekh Nawawi beserta kain kafan yang menutupi tubuhnya masih utuh, walaupun sudah bertahun-tahun dikubur. Syekh Nawawi al-Bantani merupakan seorang ulama‟ Indonesia yang bertaraf Internasional. Melalui karya-karyanya menjadikan beliau sangat dikenal di kalangan masyarakat muslim. Tidak bisa dipungkiri kalau banyak kitab karangan beliau yang diterbitkan di Mesir.
Seringkali beliau hanya mengirimkan naskahnya dan setelah itu tidak memperdulikan lagi bagaimana penerbit menyebarluaskan hasil karyanya, termasuk hak cipta dan royaltinya. Kitab-kitab karangan Syekh Nawawi menjadi bagian dari kurikulum pendidikan agama di seluruh pesantren di Indonesia, bahkan Malaysia, Filiphina, Thailand, dan juga negara-negara di Timur Tengah. Begitu produktifnya beliau dalam menyusun kitab sehingga banyak orang yang menjulukinya sebagai Imam Nawawi ke-dua, yang mana Imam Nawawi pertama adalah yang membuat Syarah Shahih Muslim, Riyadush Sholihin, dan lain-lain. Jumlah kitab karangan Syekh Nawawi al-Bantani yang terkenal dan banyak dipelajari di sebagian besar pesantren ada sekitar 22 kitab. Diantara karya-karyanya adalah: Kitab Muraqah As-Suud At-Tashdiq, syarah dari kitab Sulam at-Taufiq, Kitab Nihayatuz-Zain, syarah kitab Qurratul Ain, Kitab Tausiyah „Ala Ibn Qasim, syarah kitab Fathul Qarib, Kitab Tafsir al-munir yang dinamai Marabi Labidi Li Kasyfi Maani Al-Quran al-Majid, Kitab Kasyifatus Saja syarah kitab Safinatun Naja, Kitab Bidayatul Hidayah, Kitab Salalimul Fudlala‟, Kitab Nashoihul.
a. Bidang Syariah
Dalam bidang Syariah Islamiyah, Syekh Nawawi mandasarkan pandangannya pada dua sumber inti Islam, yaitu al-Quran dan al-Hadits, selain juga ijma dan qiyas. Empat pijakan ini seperti yang digunakan oleh pendiri Madzhab Syafiiyyah, yakni Imam Syafii. Mengenai ijtihad dan taklid. Syekh Nawawi Ijma berarti kesepakatan terhadap hukum suatu peristiwa, bahwa hukum tersebut merupakan hukum syara.
Qiyas berarti menyamakan hukum syara dalam satu kasus dengan kasus lain, karena keduanya mempunyai persamaan illat (cacat) atau keduanya mempunyai persamaan penyebab adanya hukum syara bagi masing-masing. Ijtihad berarti mengerahkan seluruh kemampuan dalam mencari asumsi (dzann) atas salah satu hukum syara dalam bentuk, dimana dari (pencariannya) merasa tidak mampu lagi melakukan lebih dari itu.
berpendapat bahwa yang termasuk mujtahid (ahli ijtihad) mutlak adalah Imam Syafii, Imam Hanafi, Imam Hambali, dan Imam Maliki. Bagi keempat ulama‟ tersebut, menurut Syekh Nawawi haram bertaklid, sementara selain mereka wajib bertaklid kepada salah satu keempat Imam madzhab tersebut. Pandangan beliau ini mungkin dirasa agak berbeda degnan kebanyakan ulama yang menilai pintu ijtihad tetaplah terbuka lebar sepanjang masa. Mengungkap jaringan intelektual para ulama‟ Indonesia sebelum organisasi Nahdlatul Ulama‟ berdiri, merupakan kajian yang terlupakan dari perhatian para pemerhati NU.
Terlebih lagi bila ditarik sampai keterkaitannya dengan keberhasilan ulama‟-ulama‟ tradisional dalam karir keilmuannya di Mekkah dan Madinah. Salah satu faktor minimnya kajian adalah diakibatkan dari persepsi pemahaman sebagian masyarakat yang sederhana hanya bergerak dalam sosial politik dengan sejumlah langkah-langkah perjalanan politik praktisnya, dan bukan sebagai organisasi intelektual keagamaan yang bergerak dalam keilmuan dan mencetak para ulama‟. Sehingga orang merasa heran dan terkagum-kagum ketika menyaksikan yang dilakukan kebanyakan anak muda belakangan ini mengusung gerakan pemikiran yang sangat maju, berani dan progressif. Mereka tidak menyadari kalau di tubuh NU juga memiliki akar tradisi intelektual keilmuan yang mapan dan tipikal. Dengan begitu NU berdiri untuk Taqlid berarti melaksanakan pandangan orang lain tanpa hujjah (argumentasi) yang mengikat.
menyelamatkan tradisi keilmuan keilmuan Islam yang hampir tercerabut dari akar keilmuan ulama‟ salaf. Figur ulama‟ seperti Syekh Nawawi al-Bantani merupakan sosok ulama‟ berpengaruh yang tipikal dari model pemikiran tersebut. Beliau memegang teguh mempertahankan tradisi keilmuan klasik, suatu tradisi keilmuan yang tidak bisa dilepaskan dari kesinambungan secara evolutif dalam pembentukan keilmuan agama Islam. Besarnya pengaruh pola pemahaman dan pemikiran Syekh Nawawi al-Bantani terhadap para tokoh ulama‟ Indonesia, Syekh Nawawi dapat dikatakan sebagai poros dari akar tradisi keilmuan Pesantren dan Nahdlatul Ulama. Oleh sebab itu, di kalangan komunitas Pesantren Syekh Nawawi tidak hanya dikenal sebagai ulama‟ penulis kitab, tapi beliau juga dikenal sebagai mahaguru sejati karena telah berjasa meletakkan landasan teologis dan batasan-batasan etis tradisi keilmuan di lembaga pendidikan Pesantren. Beliau turut banyak membentuk keintelektualan tokoh-tokoh para pendiri organisasi NU.
Apabila KH. Hasyim Asyari sering disebut sebagai tokoh yang tidak bisa dilepaskan dari sejarah berdirinya NU, maka Syekh Nawawi adalah guru utama Hasyim Asyari. Di sela-sela pengajian kitab-kitab karya gurunya tersebut, seringkali KH. Hasyim Asyari bernostalgia bercerita tentang kehidupan Syekh Nawawi, kadang mengenangnya sampai meneteskan air mata karena besarnya kecintaan beliau terhadap Syekh Nawawi.
b. Bidang Tasawuf
Menurut Syekh Nawawi tasawuf berarti pembinaan etika (adab). Penguasaan ilmu lahiriah semata tanpa penguasaan ilmu batin akan berakibat terjerumus dalam kefasikan, sebaliknya seseorang berusaha menguasai ilmu bathin semata tanpa dibarengi ilmu lahir akan terjerumus ke dalam zindiq (kafir zindiq). Jadi keduanya tidak dapat dipisahkan dalam upaya pembinaan etika atau moral (adab).
Syekh Nawawi tidak hanya dikenal sebagai seorang tokoh ulama‟ terbesar, tapi beliau juga dikenal sebagai seorang sufi yang berlian karena kemahiran dan kepintaran beliau dalam bidang agama. Sejauh itu, dalam bidang tasawuf, Syekh Nawawi dengan aktivitas intelektualnya mencerminkan ia bersemangat menghidupkan disiplin ilmu-ilmu agama. Dari karya-karya yang dituliskannya Syekh Nawawi menunjukkan seorang sufi brilian, beliau banya memiliki tulisan di bidang tasawuf yang dapat dijadikan sebagai rujukan stradar bagi seorang sufi. Pandangan tasawufnya meski tidak tergantung pada guru beliau yaitu Syekh Khatib Sambas, seorang Ulama‟ tasawuf asal Jawa yang memimpin sebuah organisasi tarekat, bahkan tidak ikut menjadi anggota tarekat, namun beliau memiliki pandangan bahwa keterkaitan antara praktek tarekat, syariat dan hakikat sangat erat. Untuk memahami lebih mudah dari keterkaitan itu, Syekh Nawawi mengibaratkan syariat dengan sebuah kapal, tarekat dengan lautnya dan hakekat merupakan intan dalam lautan yang dapat diperoleh dengan kapal berlayar di laut.
Dalam proses pengamalannya Syariat (hukum) dan tarekat merupakan awal dari perjalanan (ibtida‟i) seorang sufi, sementara hakikat adalah hasil dari syariat dan tarekat. Pandangan ini mengidentifikasikan bahwa Syekh Nawawi tidak menolak praktek-praktek tarekat selama tarekat tersebut tidak mengajarkan hal-hal yang bertentangan dengan ajaran Islam, syariat. Paparan konsep tasawuf Syekh Nawawi tampak pada konsistensi dengan pijakannya terhadap pengalaman spiritualitas ulama‟ salaf. Tema-tema yang digunakan tidak jauh dari rumusan ulama tasawuf klasik. Model paparan tasawuf inilah yang membuat Syekh Nawawi harus dibedakan dengan tokoh sufi Indonesia lainnya. Berbeda dengan sufi Indonesia lainnya yang lebih banyak porsinya dalam menyadur teori-teori genostik Ibnu Arabi, Syekh Nawawi justru menampilkan tasawuf yang moderat antara hakikat dan syariat. Dalam formulasi pandangan tasawufnya tampak terlihat upaya perpaduan antara fiqih dan tasawuf. Beliau lebih mengikuti al-Ghazali dan dalam kitab tasawufnya “Salalim al-Fudlala” terlihat Syekh Nawawi bagai sosok seorang al-Ghazali di era modern. Beliau lihai dalam mengurai
kebekuan dikotomi fiqh dan tasawuf.
Dilihat dari pandangan beliau tentang ilmu alam lahir dan ilmu alam bathin. Ilmu lahiriyah dapat diperoleh dengan proses ta‟allum (berguru) dan tadarrus (belajar) sehingga mencapai derajad „alim sedangkan ilmu bathin dapat diperoleh melalui proses dzikir, muraqqabah, dan musyahadah sehingga mencapai derajad „Arif.50 Seorang hamba diharapkan tidak hanya menjadi „alim yang banyak mengetahui ilmu-ilmu lahir saja tetapi juga harus arif, memahami rahasia spiritual ilmu bathin.
4. Karomah dan Karya-karya Syekh Nawawi al-Bantani
Ulama–ulama terdahulu pasti memiliki berbagai karomah yang tidak akan terjadi jika Allah tidak menghendaki. Begitu pula dengan Syekh Nawawi al-Bantani yang memiliki beberapa karomah, diantaranya adalah ketika beliau menulis syarah (ringkasan) kitab Bidayatul Hidayah (karya Imam Ghozali), lampu minyak beliau padam, padahal saat itu sedang dalam perjalanan, kemudian beliau berdo‟a kepada Allah SWT. apabila kitab yang ditulisnya bermanfaat buat kaum muslimin, maka mohon Allah memberikan sinar agar bisa melanjutkan menulis. Tiba-tiba jempol kaki beliau mengeluarkan api, bersinar terang, dan beliau meneruskan untuk menulis syarah hingga selesai.
Diantara karomah yang lain, yaitu nampak saat beberapa tahun setelah beliau wafat, makamnya akan dibongkar oleh pemerintah untuk dipindahkan tulang belulangnya dan liang lahadnya akan ditumpuki jenazah lain, tetapi petugas mengurungkan niatnya karena jenazah Syekh Nawawi beserta kain kafan yang menutupi tubuhnya masih utuh, walaupun sudah bertahun-tahun dikubur. Syekh Nawawi al-Bantani merupakan seorang ulama‟ Indonesia yang bertaraf Internasional. Melalui karya-karyanya menjadikan beliau sangat dikenal di kalangan masyarakat muslim. Tidak bisa dipungkiri kalau banyak kitab karangan beliau yang diterbitkan di Mesir.
Seringkali beliau hanya mengirimkan naskahnya dan setelah itu tidak memperdulikan lagi bagaimana penerbit menyebarluaskan hasil karyanya, termasuk hak cipta dan royaltinya. Kitab-kitab karangan Syekh Nawawi menjadi bagian dari kurikulum pendidikan agama di seluruh pesantren di Indonesia, bahkan Malaysia, Filiphina, Thailand, dan juga negara-negara di Timur Tengah. Begitu produktifnya beliau dalam menyusun kitab sehingga banyak orang yang menjulukinya sebagai Imam Nawawi ke-dua, yang mana Imam Nawawi pertama adalah yang membuat Syarah Shahih Muslim, Riyadush Sholihin, dan lain-lain. Jumlah kitab karangan Syekh Nawawi al-Bantani yang terkenal dan banyak dipelajari di sebagian besar pesantren ada sekitar 22 kitab. Diantara karya-karyanya adalah: Kitab Muraqah As-Suud At-Tashdiq, syarah dari kitab Sulam at-Taufiq, Kitab Nihayatuz-Zain, syarah kitab Qurratul Ain, Kitab Tausiyah „Ala Ibn Qasim, syarah kitab Fathul Qarib, Kitab Tafsir al-munir yang dinamai Marabi Labidi Li Kasyfi Maani Al-Quran al-Majid, Kitab Kasyifatus Saja syarah kitab Safinatun Naja, Kitab Bidayatul Hidayah, Kitab Salalimul Fudlala‟, Kitab Nashoihul.
Belum ada Komentar untuk "Pemikiran Syekh Nawawi al-Bantani"
Posting Komentar